Penulis Kecil

Aku tidak sedang merencanakan sebuah perjalanan, yang lantas ikut sebuah bedah buku dan workshop tentang travelling murah. Tetapi aku mencoba mencari jalan untuk dapat membenamkan diri dalam dunia menulis.  Mencari tahu bagaimana orang dapat menuangkan kisah yang menarik, dari pengalaman yang mereka peroleh agar ada sesuatu yang dapat mereka bagi kepada orang lain.

Sebagian orang berpendapat bahwa membaca lebih mudah, dari pada menulis. Bagi penulis pemula, dan bukan berasal dari kalangan jurnalistik, akan mengalami kesulitan ketika mulai menulis. Aku lantas mengingat seorang penulis senior, P Hasudungan Sirait berkata kepadaku dalam bincang santai kami. “Orang akan terjebak pada kalimat pertama, merasa sulit memulai. Tidak mood. Itu karena mereka tidak menulis. Ketika sedang menulis, jangan sekaligus melakukan editing”. Biarkan dulu tulisanmu mengalir. Setelah itu, baru kemudian di edit dan memasukan informasi atau fakta – fakta ke dalam tulisanmu. Jangan heran jika tugas seorang editor lebih berat dari si penulis. Ia akan membeli banyak sekali buku untuk melengkapi catatan tulisan tersebut.

Benar juga, bukan soal mood atau tidak, tapi karena mau atau tidak memulai menulis. Ya, itu mengapa aku ingin tahu rahasia menjadi penulis hebat. Menurut Wahyu Utomo, Wartawan Harian Jurnal Nasional dalam sebuah workshop Citizen Journalism (Baca tulisan Reportase Sederhana di Rumah Baca) bahwa, belajarlah dari buku – buku  yang diterbitkan penulis pemula. Jangan dari penulis senior sekelas Goenawan Muhamad, yang sudah terbentuk. Orang yang sedang belajar menulis memang harus rela dipermalukan. Dikritik. Tak ada jalan lain.

Boleh dikata, kehadiranku diTokoBukuLeksikaKalibataCitypada Sabtu, 4 Februari 2012 lalu. Untuk belajar dari para penulis muda yang menerbitkan Buku The Paradise Journeys, Curhat Para Traveler Muslim MenyusuriAsia, Eropa dan Amerika (Qultum Media November 2011).  Ketertarikan keduaku, adalah karena sebuah pertanyaan, apa yang membedakan buku traveler ini, atau lebih tepatnya apa yang ingin Traveler Muslim bagikan dalam ceritanya. Rupanya aku demikian terpikat dengan buku- buku travelling yang sebelumnya aku baca seperti Meraba Indonesia (Ahmad Yunus dan Farid Gaban), Illegal Alien, Mabuk Dolar di Kapal Pesiar, dan The Journey karya Gol A Gong.

Lebih dari tiga puluh orang hadir dalam acara bedah buku dan workshop siang itu. Baru aku tahu juga,  Toko  Buku  Leksika  Kalibata  City memiliki program pembagian buku gratis pada pengunjungnya. Tersedia sebanyak 30 buku, bagi pengunjung yang telah mendaftarkan dirinya sebagai anggota. Setiap minggu, anggota yang telah terdaftar  bisa datang pada tanggal – tanggal yang ditentukan. Upaya ini, ku rasa merupakan bagian dari mendorong gerakan membaca di kalangan kaum muda.

Dua orang pembicara dihadirkan yaitu Muthia Esfand dan Akbar Tri Kurniawan. Bagi mereka, hobby travelling ini harus dibagi. Dari hobby menjadi uang. Meskipun diantara para penulis, tidak secara khusus melakukan travelling. Tetapi ada hal yang bisa dibagi kepada orang lain, tentu dalam hal informasi. Muthia menjelaskan, bahwa dirinya memutuskan melakukan travelling ke Pulau Sumatera untuk menenangkan diri. Ia merasa kehilangan, ketika ibunda yang dikasihinya menghadap Ilahi. Ia sesungguhnya  melakukan perjalanan spiritual, agar menemukan kembali dirinya.

Tidak mudah melakukan perjalanan sendirian, dan tidak sedikit uang yang dikeluarkan Muthia untuk bisa mencapai desa – desa terpencil di daerah Aceh dan Sumatera. Ia mengaku belajar berbagi, karena perjalanan yang memakan waktu sebulan lebih itu, ia mendapat banyak sekali bantuan dari orang – orang yang tidak mampu namun memiliki kelapangan hati.

Akbar Tri Kurniawan, ternyata seorang wartawan Tempo yang bekerja sejak 2008. Sayangnya pertanyaanku tentang apa yang membedakan traveler Muslim dengan traveler umumnya tidak dijawabnya sesuai yang aku harapkan. Dia tidak ingin dibandingkan dengan Gol A Gong yang heroik. Menurutnya traveler saat ini, tidak bisa menggunakan teknik Gong yang melakukan liften (menumpang mobil/truk) atau bersepeda dari Kuala Lumpur ke Thailand seperti dalam kisah The Journey. Banyak cara modern seperti mengikuti kuis salah satu maskapai penerbangan, atau sebuah agen wisata agar mendapat tiket pesawat gratis. Maka dengan sedikit modal, bisa keluar negeri.

Nah dengan cara belajar sederhana ini, aku kemudian memahami bahwa menulis sebenarnya merupakan kegiatan melihat dan mendengar. Sayang juga kalau pengalaman perjalanan tidak melahirkan satu tulisan. Maka sebelum tulisan ini dibuat, sebenarnya aku sudah mulai mencoba dengan membuat sebuah tulisan tentang travelling (Baca : Terpercik Air Terjun Niagara).

Dan oleh karena keinginan belajar itu juga, aku rutin membaca cerpen (cerita pendek) di harian Kompas Minggu. Termasuk membaca rublik buku baru, puisi, prosa yang bisa aku jadikan bahan untuk belajar. Aku ikut Gerakan Indonesia Membaca Sastra (GIMS) dan menjadi kontributor Rumah Baca (http://rumahbaca.wordpress.com/) Asuhan Hartono Rakiman, penulis Buku Mabuk Dolar di Kapal Pesiar. Aku ikut menyumbang empat resensi novel  pada Rumah Baca tersebut. Melalui twitter, aku mengikuti account para penulis. Membuat resensi novel mereka dan mencoba melakukan komunikasi dengan mereka. Semangat ini bukan semata untuk menjadi penulis terkenal, tetapi karena aku kecil yang belajar mengenali potensi diri dan memiliki keinginan untuk berbagi cerita dengan orang lain.

Arsip