Dibawah Payung Hitam

Langit masih muram meski angin perlahan menyapu mendung. Sore itu sendu dengan gerimis yang sesekali datang.

Berdiri puluhan polisi membentuk barisan panjang. Tubuh mereka terpasang bagaikan pagar, melindungi Istana Negara dibelakangnya. Siap menghadang jika ada yang berani menyentuh gedung bisu itu. Mata mereka awas dan enggan lepas dari wajah – wajah tua didepannya.

HIDUP KORBAN, JANGAN DIAM, LAWAN!!!

Terdengar teriakan dari orang – orang yang berkumpul di depan Istana Negara. Mereka berpakaian hitam dan berpayung hitam. Mereka menggelar spanduk serta atribut lainnya. Hadir sekitar tigapuluh demonstran dalam aksi yang mereka sebut kamisan. Aksi damai yang menuntut pertanggungjawaban negara terhadap kasus pelanggaran HAM.

Ketika aku dan beberapa kawan tiba di lokasi kamisan, aksi damai sudah digelar oleh seorang aktivis perempuan yang menyanyikan lagu untuk Sondang Hutagalung. Perlahan aku masuk ke dalam barisan, memegang payung dan spanduk. Setelah hanyut dalam penghormatan pada Sondang, kemudian ikut berteriak bersama korban“HIDUP KORBAN, JANGAN DIAM, LAWAN!!!”

Sore itu,  Kamis 22 Desember 2011 merupakan aksi damai  ke 239. Kamisan terakhir  sebelum memasuki libur Natal dan Tahun Baru. Gagasan aksi diam telah dilakukan sejak kamis  18 Januari 2007. Aksi damai ini identik dengan baju hitam dan payung hitam yang bertuliskan sejumlah kasus pelanggaran HAM. Aksi kamisan berlangsung pada pukul 16.00 – 17.00 WIB di depan Istana Negara. Gerakan ini merupakan gagasan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang mendapat dukungan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Atribut kamisan itu mengandung makna, hitam melambangkan keteguhan dimana duka cita telah bertransformasi ke dalam cinta kasih pada para korban pelanggaran HAM dan sesama. Istana Negara sebagai  lambang kekuasaan sedangkan payung hitam sebagai lambang perlindungan (Kumpulan Tulisan Perempuan Penyintas, Payung Hitam Keadilan 2011). Kamisan juga merupakan aksi Melawan Lupa terhadap sejumlah peristiwa maupun kasus pelanggaran HAM.

Kamisan selalu diikuti oleh Korban Kerusuhan Mei 98, Korban 65, Korban Perampasan Lahan Kecamatan Rumpin Januari 2007, Korban Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Korban Penghilangan Orang Secara Paksa, mahasiswa, aktivis dan simpatisan.  Kebanyakan diantara mereka adalah orang tua yang merupakan keluarga korban.

Kami berdiri tidak jauh dari lokasi bunuh diri Sondang Hutagalung. Mahasiswa UBK, sahabat Munir yang juga terlihat dalam beberapa aksi damai kamisan. Setelah lagu dinyanyikan aksi dilanjutkan dengan orasi dari mahasiswa dan korban. Selanjutnya pembacaan surat korban yang ditujukan kepada Presiden RI.

Tak hanya mengelar aksi damai, korban pelanggaran HAM juga menyurati Presiden RI. Lebih dari seribu surat telah dilayangkan namun hingga kamis itu belum ada balasan langsung dari Presiden SBY. Adapun balasan surat berasal dari menteri Sekretaris Negara dan Asisten Deputi Hubungan Ormas yang isinya hanya sebatas respon admistratif.

Aku ingat ketika kamisan ke 200. Hadir saat itu Denny Indrayana (belum menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM) dan Stanley A Prasetyo dari Komnas HAM. Namun kehadiran mereka tidak seperti yang Korban harapkan. Ibu Sumarsih, Ibunda Wawan, Mahasiswa Atmajaya korban penembakan Semanggi 98, terlibat perbincangan serius dengan Denny Indrayana. Nampak jelas Ibu Sumarsih begitu marah dan sangat emosional. Wajar jika saat itu para aktivis dan peserta kamisan meneriaki Pemerintah Bohong.

Aksi hampir selesai, aku masih mematung. Masih menggenggam payung, sedari awal rasa haru dan marah berkecambuk dalam hati. Memandang Ibu – ibu, bapak dan kakek – kakek yang masih setia berdiri di depan istana. Mereka tak lelah dan rela mengeluarkan ongkos transport untuk hadir menuntut keadilan bagi dirinya, bagi keluarganya dan mewakili korban pelanggaran HAM. Perjuangan tanpa henti. Sakit, memandang Istana Negara yang berdiri angkuh. Kami seakan berbicara dengan benda mati, mengadu gedung bukan Bapak Negara. Adakah secercah harapan dari kesetiaan asa mereka? Suara serak kami? JANGAN DIAM, LAWAN!!!.

Kamis, 29 Desember 2011. Tidak melakukan aksi di depan Istana Negara. Tetapi Kamis, terpaut ingat pada wajah kakek dan ibu – ibu berpayung.

Kembang Gunung Purei

Betapa kagetnya aku ketika membaca sebaris kalimat dari seorang teman di twitter.“Lan Fang, Sastrawan Perempuan yang tinggal di Surabaya (novelnya : Ciuman di Bawah Hujan) sakit serius. Dirawat di RS Adi Husada. Mohon doa”. Limbung, mengapa aku baru tahu sekarang? Langsung saja ku kubuka dinding facebook Lan Fang. Benar saja, sudah lebih dari sebulan ia sakit. Dari Yasin, sahabat Lan Fang yang kuhubungi lewat pesan singkat, mengatakan bahwa Lan Fang menderita kanker hati. Sudah parah, dan akan menjalani pengobatan ke Singapura.

Pertemuan dengan sang sastrawan, ketika kami mengikuti workshop penulisan cerpen pada pertengahan November 2009 di Jakarta. Lan Fang mudah senyum, cerdas, kesan ceriwis tak lepas seiring dengan candanya. Lewat jejaring sosial, pertemanan kami berlanjut. Sesekali ia menyapaku lewat forum chat, bercerita seadanya. Suatu malam, ia bertanya bagaimana membuat tulisan di facebook. Ia mengaku sebagai warga baru di dunia maya ini. Setelah perbincangan singkat dengannya, Lang Fang sudah bisa mempublish notenya. Terkadang, Lan Fang mencandaiku dan mengomentari statusku. Dari ceritanya, ia mengaku menyukai Drama Korea, sama seperti aku.

Pesan singkat dari Yasin tiba – tiba masuk ke ponselku, kau katanya telah beristirahat panjang. Minggu 25 Desember 2011 waktu Indonesia pukul 14.41, Lan Fang menghembus nafas terakhir di Rumah Sakit Mounth Elizabeth Singapura. Aku kembali sesak, janjiku pada Yasin belum sempat kutepati untuk membuatkanmu puisi. Dan ketika jenasahmu tiba, aku tak sempat mengirimkan serangkai bunga pelengkap ruangmu. Sebagai sahabat, izinkan aku mengenangmu dengan membuat resensi karyamu. Satu diantara tiga novel (Lelakon, Kembang Gunung Purei dan Ciuman di Bawah Hujan) yang kupunya dari sederet karyamu. Semoga kau suka.

Siapa menyangka, Nanang, lelaki asal Kota Banjarmasin itu terperangkap dalam keperawanan Hutan Bumban. Nanang bekerja sebagai  area manager pada salah satu perusahaan HPH di wilayah Kalimantan Selatan. Ia tak segan turun langsung mencari meranti, agatis, ramin, mengemas kayu sehabis ditebang dan menghanyutkannya sepanjang Sungai Barito.

Nanang lebih memilih Hutan Bumban, dibandingkan segera bersanding dengan Ida, gadis tunangannya. Menurut hitungan waktu, dua tahun setelah ia merambah hutan ia akan kembali pada pujaan hatinya. Bagi Ida maupun kedua orang tua Nanang, tinggal di kota lebih baik. Tawaran posisi branch manager di Banjarmasin, tidak beresiko dibanding Hutan Bumban. Namun Nanang hanya ingin Ida menunggunya, ia hanya ingin menaklukan Hutan Bumban. Dan karena itu, Ida tak sepaham dengannya.

Suatu ketika, dalam proses pemotongan kayu, tiba – tiba mesin gergaji mesin berhenti. Mata pisau yang tajam tertancap di belahan tengah batang kayu. Dua petugas yang menggergaji kayu berusaha menggerakannya sekuat tenaga namun gergaji tetap saja tak mau bergerak. Para pekerja meneriaki Nanang untuk melihat kendala mesin gergaji tersebut. Nanang melihat sebatang ranting kecil menganjal di mesin sebelah dalam. Langsung saja Nanang mengulurkan tangan kanannya untuk menarik ranting tersebut, secara otomatis gergaji tersebut mendengung lagi, termasuk langsung membabat pergelangan tangan kanannya.

Bagi Ida, tak ada lagi alasan selain mengembalikan cincin pertunangan mereka. Ida cermat dengan perhitungannya. Mana bisa lelaki bertangan dua, mengulur – ulur waktu menikahinya, kemudian kembali dengan satu tangan. Ida, gusar dan kecewa pada Nanang.

Setelah kecelakaan itu, Nanang belajar menguasai keterbatasannya. Ia masih terlihat payah menggunakan satu tangannya. Namun gairah kerjanya tidak kunjung hilang. Ia kembali memperpanjang kontrak kerjanya hingga dua tahun berikutnya.

Meski sepi merasuk dan kerap digoda perihal status lajangnya, ia tak perduli. Nanang menghabiskan waktu bersama para pekerja yang telah ia anggap sahabat. Para pekerja penebang kayu adalah masyarakat sekitar Hutan Bumban. Mereka memilih bekerja di perusahaan HPH karena tidak cukup lagi lahan yang mereka punyai untuk berladang. Memang ironis, perusahaan HPH dapat memperoleh keuntungan besar dari hasil penebangan kayu, sedangkan masyarakat setempat hanya diwarisi hutan yang telah gundul.

Suatu ketika, Nanang bertemu dengan Bua, perempuan berusia 21 tahun. Bua adalah penjaja kue sepanjang sungai barito. Ia berasal dari Gunung Purei, Bua berasal dari keturunan Dayak. Kala itu Nanang dan Amit kawannya menikmati kopi suguhan Bua di atas perahu.

Bua, perempuan dengan cerita mistik. Dari mulutnya ia bercerita bahwa ia menjalani kutuk sebagai perawan tua. Tak ada yang menikahinya setelah peristiwa kematian Umaaq –ayah – Bua secara tidak wajar. Ketika usianya tujuh belas tahun, ia menolak dinikahi oleh anak seorang demang (tokoh agama). Bua tidak menyukai demang karena masih menjatuhkan hukuman pengayauan – pancung kepala bila terjadi sengketa antarsuku atau antarwarga. Paska kematian Ayah Bua, terjadi ketegangan antara keluarga Bua dengan demang. Ibu Bua bersumpah dengan menorehkan Mandau –pisau – pada tangannya hingga menetes darah “Aku tidak akan menyerahkan Bua kepada Jue, anak Demang, sekalipun Bua harus menjadi perawan tua” teriak Ibu Bua. Demang marah, menumpahkan kutuk pada Bua menjadi perempuan sial buat laki – laki yang mendekatinya. Laki – laki yang mengawini Bua akan mati tragis karena timpaan bala.

Bagi Nanang, Bua laksana bunga liar. Baru terlihat ketika menerobos semak. Bua, meski hanya mengecap bangku SD dan tak banyak pembendarahan bahasa Indonesia jauh lebih menentramkan hati Nanang. Jangan bandingkan dengan Ida, yang sarjana dan memiliki kelebihan lainnya. Namun Bua, sanggup menghangatkan dirinya. Buapun mengandung anaknya.

Lan Fang mengaku bahwa Kembang Gunung Purei seperti proses kelahiran bayi, penulisannya mengendap selama lima tahun, bukan saja terpaksa mengendap dalam kemandulan tetapi juga terpaksa lahir prematur. Lan Fang mencoba menghadirkan unsur budaya dan objek yang dekat dengannya. Ia mengambil latar belakang budaya Kalimantan  karena ia menghabiskan delapan belas tahun di sana.

Lan Fang dalam Kembang Gunung Purei-nya, mengisahkan konflik antara masyarakat adat dengan pendatang, bagaimana adat istiadat Suku Dayak dan pernikahan yang menggunakan tata cara Kaharingan. Nanang dikisahkan bolak – balik Jelabat Banjarmasin untuk menemui Ida yang menjadi buta. Nanang alpa menyebut kehadiran Bua kepada Ayahnya. Kecelakaan tragis menimpa Bua, Nanang dan bayi mereka yang harus lahir prematur. Apakah bala menimpa mereka?

Lang Fang mengaku Kembang Gunung Purei merupakan pergumulan batinnya. Nanang yang digambarkan Lan Fang, adalah seorang manusia yang bebas memilih hidupnya. Baginya cinta tak sekedar diucapkan, namun menciptakannya bersama orang yang kita sayangi.

Selamat beristirahat panjang kawanku Lan Fang, karyamu abadi.

Jakarta, 28 Desember 2011

Reportase Sederhana di Rumah Baca

Rumah Baca kembali mengadakan acara. Kali ini dalam bentuk workshop dengan tema  Jurnalisme Warga (Citizen  Journalism). Untuk maksud ini, Rumah Baca mendatangkan wartawan harian Jurnal Nasional, Wahyu Utomo sebagai narasumber. Acara berlangsung di Rumah Baca, yang adalah kediaman Hartono Rakiman di Kampung Parung, Bojongkulur, Gunung Putri Bogor pada tanggal 18 Desember 2011.

Istilah  jurnalisme warga sudah beberapa kali aku dengar. Beberapa komunitas nampaknya sedang mengembangkan tema yang sama. Tapi apa sebenarnya pengertian jurnalisme warga itu?  Apa bentuknya dan bagaimana mengembangkannya? Pertanyaan di kepalaku itulah, yang mendorong aku untuk berdiskusi dengan Komunitas Rumah Baca.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, termasuk hitungan tersesat, sampailah aku di Rumah Baca. Saat itu, ruang Rumah Baca sedang penuh dengan anak–anak. Mereka adalah anak–anak dari Rumah Baca Kids. Hartono dan Indriyani (istrinya), mengembangkan wadah belajar bagi anak–anak sekitar rumah. Tampak sekitar tigapuluhan anak dari beragam usia, lagi menyimak pelajaran yang disampaikan oleh Indriyani. Seorang laki–laki, yang kukenal kemudian bernama Akbar, ikut mengambil bagian dalam proses belajar pagi itu.

Rumah Baca Kids berlangsung setiap hari minggu, dari pukul tujuh sampai sembilan pagi. Menurut Indri, ada sekitar tujuhpuluhan anak yang terdaftar. Namun yang hadir setiap minggu, rata–rata sekitar tigapuluhan anak. “Dulu aku mengumpulkan anak–anak belajar di masjid. Namun kemudian pindah ke rumah, agar membuka kesempatan lebih banyak anak lagi yang datang,” cerita Hartono.

Workshop Jurnalisme Warga yang bakal aku ikuti, baru akan dilaksanakan setelah anak–anak selesai belajar. Hartono nampaknya senang dengan kehadiran peserta workshop, ketika proses belajar Rumah Baca Kids  masih berlangsung. Aku termasuk diminta Hartono untuk berkenalan dan berbagi informasi dengan anak–anak. Itulah mengapa, Akbar yang merupakan peserta workshop ikut membagi cerita tentang hobbi bersepedanya.

Mendadak mengajar nih, gumanku dalam hati. Hartono hanya memberikan satu kata kunci yaitu “mimpi”. Anak–anak terlihat senang, bahkan ketika aku bertanya soal mimpi mereka, ada yang menyebut ingin ke Belanda. Mereka tidak malu–malu. Anak–anak ini komunikastif.  Interaksi antara aku dan mereka tidak mengalami hambatan. Bahkan kami bernyanyi lagu tentang impian secara bersama. Di akhir acara belajar, Rumah Baca Kids menyediakan sarapan pagi sebelum mereka kembali kerumah orangtuanya.

Lalu bagaimana dengan diskusi mengenai Jurnalisme Warga? Workshop baru dimulai sekitar pukul sepuluh. Hadir kira–kira lima belas peserta, yang berasal dari mahasiswa, pelajar, aktivis, pegawai swasta, pengajar, penerbit, profesi lainnya. Sesi perkenalanpun dimulai, menurut Hartono, ini pertemuan kali keempat dari topik besarnya “jurnalisme”. Hartono kemudian memberikan kesempatan kepada Wahyu Utomo untuk memaparkan lebih dalam tentang jurnalisme warga.

Sebelum masuk kedalam pengertian jurnalisme warga, Wahyu Utomo menjelaskan mengenai reportase. Menurut Wahyu Utomo, reportase adalah sebuah kegiatan pengumpulan data/fakta yang berasal dari suatu peristiwa. Reportase tidak selalu berkaitan dengan media, kegunaannya juga untuk penulisan karya ilmiah dan penelitian. Reportase mengandung unsur peristiwa yang diperoleh dari hasil pengamatan dengan penggunaan teknik penulisan 5W + 1H.  Ada tiga teknik reportase, yaitu riset, observasi dan yang terakhir wawancara. Masing –masing teknik memiliki tahapan. Di antaranya dengan mempersiapkan kerangka acuan dan daftar pertanyaan.

Perbedaan antara jurnalisme warga dengan jurnalisme industri terletak pada scope. Jurnalisme warga dibatasi tujuannya untuk suatu komunitas. Sehingga ada perbedaan dari gaya bahasa dan pemberitaan. Newsletter internal, majalah internal, website internal termasuk juga Kompasiana (media interaksi yang digagas Kompas) adalah bentuk – bentuk jurnalisme warga. Kaitan reportase dengan jurnalisme warga, adalah kegiatan jurnalisme warga mengandung juga unsur reportase. Sehingga jurnalisme warga dapat menyajikan tulisan – tulisan yang mengandung kebenaran.

Yang menarik, Wahyu Utomo mendorong kami untuk membuat reportase. Tips yang ia berikan adalah mengamati orang di area publik. Lakukan pengamatan selama tiga puluh menit. Fokus pada salah satu objek, kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Berikan tulisan itu kepada teman, dan mintai kritikannya. Ingat, jangan seperti menulis diary ya…Imbuh Wahyu lagi.

Setelah diskusi selesai, Hartono membagikan beberapa buku dari penerbit Serambi kepada kami. Ia berharap akan ada diskusi lanjutan melalui blog dan email mengenai tema yang baru saja kami bahas. Ia menutup acara diskusi Jurnalisme warga dengan mempersilahkan kami menyantap barbeque di halaman belakang rumahnya.

Inisiatif membangun diskusi di kalangan masyarakat secara terus menerus akan menumbuhkan rasa kepedulian terhadap masalah sosial, ekonomi maupun politik. Rumah Baca hanya menggunakan media sosial sebagai pintu masuk untuk mempertemukan orang–orang dari beragam profesi. Secara pribadi, tapi mungkin masih dangkal menilainya, Rumah Baca secara tidak sengaja mendorong pluralisme warga. Wadah tersebut mampu mendiskusi tema yang beragam dan mefasilitasi pendapat yang berbeda dari tulisan – tulisan yang dikirim kepada Rumah Baca. Sekali lagi terima kasih Rumah Baca.

Gerakan Indonesia Membaca Sastra

Betapa senangnya aku sore itu, ketika menemukan artikel Gerakan Indonesia membaca Sastra (GIMS) lewat majalah EsquireINA. Informasi selanjutnya kuperoleh dari twitter. Boleh gabung? RT @fitri4mini: RT @9nna: Selanjutnya, pertemuan #GIMS di Kopi Tiam Oey Tebet, Jl. (cont) tl.gd/ekh8g8 6:25 PM – 9 Dec 11, pertanyaanku langsung mendapat respon.

Mudah saja. Itu artinya, tiga hari lagi aku akan bergabung dengan kawan – kawan pembaca sastra.  Gerakan ini nampaknya cocok denganku yang suka baca novel sastra. Pada pertemuan GIMS nanti, mereka masih melanjutkan membaca Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pasti akan menarik, pikirku. Karena aku sudah membaca novel tersebut dan menonton filmnya “Sang Penari”. Beberapa novel karya Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer nampaknya bisa menjadi bahan diskusi dengan teman baruku nanti.

Menurut informasi yang kubaca GIMS didirikan pada Agustus 2011. Gerakan ini diinisiatif oleh Ayu Utami, Indah Ariani dan Olin Monteiro. GIMS bertujuan membangkitkan kepedulian terhadap karya – karya sastra Indonesia. Hasil kegiatan membaca karya sastra akan direkam dan diolah menjadi audiobook. Hasilnya akan disumbangkan kepada perpustakaan komunitas Mitra Netra sebagai bentuk kepedulian akan ketersediaan buku-buku sastra bagi kaum tuna netra. Aku makin semangat, tak sabar menanti hari senin.

Dan waktu itupun tiba. Gegasku meninggalkan kantor lebih awal, menumpang ojek menuju Kopi Tiam Oey Tebet. Ketika sampai disana, sudah ada tiga kawan GIMS. Dari perkenalan kami, mereka adalah Valentina Sagala, Olin Monteiro, dan Wasis Gunarto. Menurut mereka Mba Ayu Utama berhalangan hadir karena ibunya sakit. Tanpa harus menunggu kawan lainnya datang, masing – masing diantara kami mendapat bagian membaca. Aku menjadi orang pertama yang membaca lanjutan Bab II Buku III Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Ketika menjelang malam, kursi kami mulai penuh. Sekitar tiga belas orang ambil bagian dalam GIMS. Beberapa diantaranya pengikut setia, namun ada yang baru bergabung seperti aku. Sebagian besar mereka datang pertama kali karena diajak oleh temannya.

Kami semua mendapat giliran membaca, dan ketika beristirahat, kami gunakan untuk berkenalan dan berbagi cerita. Menurut kawan – kawan, pertemuan ini sudah kali kesembilan. Tidak hanya kelompok Ayu Utami yang menjalankannya, namun ada kelompok lainnya. Dengan munculnya berbagai kelompok, gerakan akan cepat menyebar dan semakin banyak orang peduli akan karya sastra Indonesia. Kelompok yang kuikuti ini, bertemu setiap senin di Kopi Tiam Oey.

GIMS tidak memungut bayaran maupun kontribusi. Kami digabungkan dalam milis dan group bbm  GIMS. Melalui media tersebut, para pembaca sastra akan mendapat informasi seputar kegiatan GIMS.

Sedari kami membaca, para pengunjung Kopi Tiam Oey Tebet nampaknya tidak terganggu. GIMS sebenarnya juga memberi manfaat secara tidak langsung kepada orang – orang yang ingin mendengar tapi tidak ikut membaca. Menurut artikel yang kubaca, ada beberapa pengunjung yang sengaja datang untuk mendengar novel sastra yang dibaca oleh GIMS.

Kontributor GIMS memiliki keragaman jenis bacaan. Dari obrolanku dengan salah satu anggota GIMS, ia mengaku tidak sering membaca novel sastra. Pilihannya justru pada jenis novel yang ringan. Menurut ceritanya, sang ayah yang suka sastra. Ayahnyalah yang bercerita tentang isi Novel Ronggeng Dukuh Paruk kepadanya.

Salah satu diantara kami, berasal dari daerah dimana Ronggeng Srintil berada (nama tokoh ronggeng dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk). Menurutnya, tradisi bukak klambu itu memang ada. Namun sejalan dengan waktu tradisi itu hilang. Menurutnya Film Sang Penari, belum berhasil menampilkan ketandusan daerah tersebut. Katanya daerahnya lebih gersang dan miskin dari yang divisualkan.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk akhirnya selesai dibaca pada pukul sepuluh malam.  Seluruh kaset rekaman dikumpulkan pelayan Kopi Tiam Oey Tebet. Pa Bondan sang pemilik warung kopi, termasuk salah satu kontributor GIMS. Selain tempat, Pa Bondan menyiapkan karyawannya untuk  membantu pelaksanan acara. Seluruh hasil rekaman akan diserahkan kepada Ayu Utami.

Senang rasanya bisa ambil bagian malam itu. Selain mendapat teman baru, diskusi kami lebih ringan dan menyegarkan. Mungkin karena berbeda profesi, banyak hal baru yang ingin kami gali. Terima kasih GIMS suaraku untuk Peraba Indonesia. Semangat untuk pertemuan GIMS berikutnya.

Kereta

Kereta bagiku adalah sebuah kerinduan
Kereta yang pernah kutunggu kedatangan dan keberangkatannya
Kereta yang selalu kau tumpangi ke kotaku

Dulu aku tak sabar menunggu subuh
Menyambutmu dengan senyum dan pelukan
Membalutmu dengan cinta yang menggebu
Menyandarkan kerinduan tanpa cemburu

Bibirmu menempel, membuatku demikian bergairah
Nafasku tersenggal, jantungku berdetak kencang
Kubiarkan ranjangku terbebas dari sepi
Kularut dalam cintaku, cinta yang cukup kau bagi denganku

Mungkin aku sedang merindukanmu,
Aku yang kau diamkan dalam hening.
Tak kutampik, aku cemburu
Bukan lagi untukku, singgahmu itu.

Inggrid Silitonga (2010)

Pacar Senja

Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.

Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”

Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.

Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas
cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”

Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja
berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak.

Joko Pinurbo (2003)

Eh ‘Cong…Panggil gue Madame X

Ya ampun ‘cin………………, Metong deh ik…………….., Capcus!!!

Dimana Anda dengar kata – kata ini, dan siapa yang menggunakannya? Mungkin diantara Anda akan segera mengingat salah satu nama di salon tempat Anda memotong rambut. Pasti bencong deh!  Ngomong – ngomong soal salon, tahu Aming khan? artis yang melejit namanya di Extravagansa sebagai Pinky Boy, sekarang buka salon bahkan ia turun tangan langsung sebagai penata rias.

Ini bukan gosip melainkan salah satu peran yang ia mainkan dalam film terbarunya Madame X. Film yang baru saja diluncurkan sekitar akhir September 2010. Rasanya memang tepat peran “bencong” yang ia mainkan. Namun bukan acting-nya, melainkan kepentingan yang diangkat dalam film tersebut yaitu  “tokoh bencong” yang merupakan repesentasi dari persoalan diskriminasi terhadap homoseksual yang tergolong dalam kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual/Transjender). Sedikit menjabarkan singkatan LGBT agar mudah dipahami, yaitu masing – masing kata mengandung pengertian : lesbian adalah seorang perempuan menyukai sesama jenisnya,  gay/homoseks seorang lelaki menyukai sesama jenisnya laki-laki. Biseksual adalah seseorang yang mempunyai dua kepribadian atau bisa disebut juga seperti mempunyai dua kelamin karena mempunyai kedua sifat tersebut. Dan tranjender/transeksual itu adalah seseorang yang mengganti alat kelaminnya dengan alat kelamin lawan jenisnya.

Latar belakang film Madame X terdiri tiga scene yaitu Babak I, Babak II, dan Babak III.  Dalam pengisahannya, Adam (Aming) dan Harun (Marcell Siahaan)   bersahabat sejak duduk dibangku SD. Adam berdandan layaknya seorang gadis, bergaya didepan kamera bersama Harun. Merasa terjadi penyimpangan orientasi seksual, Harun dihukum oleh ayahnya. Luka berbentuk huruf x didada Harun merupakan tanda kekerasan fisik dan trauma yang ia bawa hingga dewasa. Dirinya kemudian secara keras menolak keberadaan kaum  homoseksual.

Adam dan Harun kemudian bertemu dalam situasi yang berbeda, tak saling kenal. Masing – masing dari mereka berada pada pilihan hidup yang pernah dibincangkan semasa kecil.  Dulu Adam sangat sederhana dalam bercita – cita, sedangkan Harun sebaliknya, berkeinginan menjadi presiden atau menteri. Kini Adam seorang pekerja salon, sedangkan Harun menjadi seorang pemimpin organisasi sosial dan politik yang sedang mencalonkan diri sebagai presiden. Pilihan dan jalan hidup berbeda.

Sebenarnya film Nia Dinata ini, mencoba untuk “aman”, meski menampilkan berbagai persoalan dan kritik sosial yang keras. Kemasannya dibuat comedy action, menjual sejumlah nama besar artis seperti Ria Irawan, Robby Tumewu, dan Sarah Sechan. Persoalan yang diangkat adalah menyangkut diskriminasi kaum homoseksual, bagaimana mereka yang tak diakui oleh keluarga, masyarakat, kelompok masa tertentu, bahkan negara untuk persoalan hak atas identitas. Para bencong yang dirasia disebuah club malam oleh organisasi masa mengingatkan kita atas tindakan kekerasan oleh FPI (Front Pembela Islam) kepada kelompok gay.

Akibat penyimpangan seksual ini, mereka dicap sampah, bahkan sulit mendapat akses publik seperti pekerjaan dan kebebasan didalam interaksi sosial. Dengan “keterbatasan” tersebut, mereka memilih menjadi pekerja salon, dan tak sedikit sebagai pekerja seks. Mereka kemudian mencari tempat tinggal yang kondusif agar bisa berkeluarga, mengubah (operasi) anggota tubuh dan wajah serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka sendiri.

Kaum homoseksual tak lepas dari penghinaan, penganiyaan, penyiksaan, hingga penghilangan paksa oleh orang atau kelompok yang tidak dapat menerima keberadaan komunitas ini.

Film yang berdurasi kurang dari dua jam ini mencoba menampilkan realita dan lelakon seperti seorang cacat (tuna wicara) yang homoseksual, pasangan yang memiliki perilaku seksual dengan cara penyiksaan (sadomasoki), pernikahan sesama jenis, perdagangan perempuan, hingga menyoroti buruh migran yang disindir keras dengan slogan “Jadilah Penyumbang Devisa”. Termasuk memperlihatkan  bagaimana perempuan dikekang kebebasannya dengan aturan berpakaian (gaun panjang, tertutup, dan bercadar). Menyindir juga tokoh politik yang berpoligami dengan menikahi penyanyi, artis, dan perempuan biasa (asal cantik dan seksi), suasana kampanye pemilu yang menggunakan isu pembersihan kaum minoritas agar memperoleh masa dan kekuasaan, hingga cara memperoleh sumber dana kampanye partai politiknya. Memang menjadi banyak pesan yang ingin ditampilkan dalam film ini.

Atas semua ulasan diatas, disadari bahwa tatanan sosial dipengaruhi oleh sistem patriarki dan heterosentris yang dianut oleh hampir seluruh negara. Seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita untuk menolak/menentang kaum homoseksual, karena homoseksual merupakan pilihan. Sikap yang terbaik adalah menyadari dan menghormati mereka ada di tengah-tengah kita tanpa melakukan diskriminasi,  serta mendorong agar mereka memperoleh kesamaan hak sebagai sebagai warga negara.

Akhirnya Madame X, adalah sebuah mimpi tentang adanya “perlindungan” terdapat kaum LGBT. Kini pertanyaannya sudahkan Anda menyadari dan menghargai pilihan adik, kakak, sahabat, teman kerja Anda sebagai salah satu dari kaum LGBT? termasuk pilihan dan pengakuan atas diri sendiri bahwa Anda adalah lesbian/gay?

Tulisan ini pernah diposting sebelumnya dihttp://hiburan.kompasiana.com/film/2010/10/09/eh-congpanggil-gue-madame-x/

Hasanah

Paras manis, menyapa ramah. Wanita berkerudung hitam menjajakan kuenya di pelataran trotoar Senen. Sapaan lembutnya menghentikan lelah langkahku. Sudah bertahun lamanya pelataran Jalan Senen dipenuhi jajanan kue. Deru kendaraan, bising, bukan tempat yang tepat tapi sempat untuk disinggahi. Kakiku berjalan dari Gunung Agung Kwitang sembari menikmati Jakarta yang gaduh. Kota ini memang tidak ramah, tapi punya cara bagi orang yang mencari kenikmatan. Seperti aku yang gegas ingin makan lemang.

Lemang setengahnya berapa mba?
Delapan ribu!. ..

Masih hangat?
Masih mba, silahkan kalau ingin duduk di sini.
Bisa pesan es teh manis juga mba?
Oh bisa, sebentar ya…

Lemang merupakan makanan dari beras ketan yang digulung dengan selembar daun pisang. Bahan itu kemudian dibakar dalam seruas bambu. Di Ambon, kota kelahiran saya, lemang disebut nasi bulu. Lemang nikmat disantap ketika masih hangat.

Hasanah, begitu nama wanita yang menjajakan lemang. Tapi tidak hanya lemang, yang dia jajakan. Ada jenis kue dan makanan ringan lainnya. Dari perkenalan kami, ternyata usianya tidak terpaut jauh denganku. Ia berketurunan Jawa campur Padang. Usaha menjual kue telah dilakoninya sejak masih duduk di bangku SD. Hasanah, lulusan SMK jurusan akuntansi. Tak canggung bercerita.

Kami duduk berdekatan di warung kecilnya. Berbincang layak teman lama. Hasanah memotong lemang menjadi enam bagian. Dia menaruhnya ke dalam mangkuk. Sekilas Hasanah mirip gadis Aceh, batinku.

Cerita kami mengalir begitu saja. Hasanah menerangkan, bahwa ia mengontrak sebuah kamar bersama kakaknya yang juga sesama penjual kue. Tempat tinggalnya tak jauh dari lokasi tempat ia berjualan. Ia dan penjual lainnya mengambil kue dari pengusaha kue yang mereka sebut bos. Pemasukannya tidak tentu. Tetapi yang pasti ia harus menyediakan ongkos membuka-memasang tenda dan kemanan. Biaya tersebut sebesar lima belas ribu rupiah. Dan setiap akhir bulan membayar retribusi sebesar sepuluh ribu rupiah. Bagi Hasanah, pilihannya kembali berjualan adalah cara meneruskan usaha orang tuanya.

Hidup harus dijalani dengan kerja keras, tutur Hasanah. Yang penting sabar mba, kemudian hemat. Saya kepengen nyicil rumah, tapi belum kesampaian. Uang hasil jadi TKW di Singapura tidak mencukupi.

Ternyata Hasanah baru saja kembali tahun lalu dari Singapura. Ia berangkat dari Indonesia tahun 2008. Dari tuturan singkatnya, ia tidak tahan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Penghasilannya sebulan sebesar satu juta delapan ratus ribu rupiah. Menurutnya penghasilan itu termasuk kecil, karena majikannya tidak menanggung kebutuhan lainnya. Bahkan ia harus pandai berhemat agar dapat membeli makanan ketika majikan dan keluarganya ke luar kota.

Saya nggak bangga pernah ke Singapura mba! Nggak ada hasilnya. Sudah nggak banyak uang, masih dipalak pula oleh petugas bandara ketika kembali ke Indonesia. Kalau kembali ke Indonesia baiknya lewat jalur biasa saja. Nggak usah lewat agen. Ongkos administrasi tak terduganya banyak, tutur Hasanah sambil membungkus kue untuk pembeli lainnya.

Majikan Hasanah keturunan Melaju. Ia mengaku tidak pernah mendapat kekerasan fisik tapi kerap dimarahi. Selama dua tahun di sana, ia sudah tiga kali berganti majikan, meskipun masih satu keluarga dengan majikan sebelumnya. Kesulitan selama menjadi pembantu rumah tangga dapat dilaluinya, bagi Hasanah yang penting ada kemauan kerja, sehingga dapat mengatasi kelemahannya.

Hasanah juga pernah menjadi buruh pabrik di Batam. Ceritanya yang satu ini tidak dilanjutkannya dengan antusias. Dengan suara yang sedikit meninggi, ia mengatakan hidup di Batam lebih keras dari Jakarta. Penjelasannya singkat, katanya serba mahal. Bagian Batam, ia nampak tertutup. Aku tak ingin mendesaknya bercerita.

Hasanah, balik bertanya, Mba kerja dimana? Tinggal dimana? Sekali–kali pertanyaannya yang lain kujawab dengan tawa–tawa kecil. Hasanah, mulai bertanya tentang kerja part time yang dibacanya lewat Koran Lampu Hijau. Pesan singkat penyalur Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan poster lowongan pekerjaan di tembok jalan. Ia ingin bekerja di siang hari, tapi menurutnya sulit. Karena setiap pukul lima sore, ia harus mulai membuka warungnya hingga tengah malam. Ia setia pada pekerjannya.

Tangannya kembali lincah membungkus kue. Aku ada dalam sebuah kesederhanaan sikap. Hasanah bertutur tentang kenyataan hidup. Pelik, keras dan tak mudah baginya dan penjual kue lainnya di Senen. Ia masih punya banyak mimpi, dari cerita–cerita kecilnya. Nampak ia wanita yang tak rapuh.

Mba, kehidupan ini tidak dapat berhenti. Yang harus kita lakukan adalah berusaha dengan seijin Allah. Bersabar, semua akan seijin dan sekehendak Allah, petuah Hasanah panjang.

Aku terdiam sesaat, cerita kami harus berakhir karena malam mengingatkanku. Bagiku Hasanah, lebih dari yang kudapat. Dan rasanya bahagia Aku bisa mengenalnya. Ada banyak cerita tentang perempuan pekerja keras. Malam baginya pagi, dan malam adalah harapan.

Jakarta, Lewat tengah malam 14 Desember 2011

Burung – Burung Migran

Rilis : 2011 Penerbit : Qanita Bahasa : Indonesia Pagi itu, salah satu group blackberry messager (bbm)-ku berceloteh ramai. Masih pagi, tetapi sudah hangat. Kami membincangkan tentang kisah buruh migran di Hongkong. Kisah nyata dari salah satu teman yang berkesempatan bertemu secara langsung dengan para TKI. Menurut ceritanya buruh migran kita disana terjebak perilaku konsumtif. Menjadi pekerja seks dan menjalani kawin kontrak. Meski tak ingat betul, temanku itu menulis, salah satu tentangganya di hostel adalah perempuan Indonesia yang bersuamikan laki – laki Afrika. Anaknya dua, yang satu berparas India, yang lainnya berkulit hitam. Pernah temanku itu berkunjung ke rumahnya, dan mendapati lima orang laki – laki Afrika, wajah mereka katanya terlihat tegang, “jangan – jangan mereka kartel narkoba” tulis temanku. Seru, bahkan salah satu teman yang membaca cerita itu mengaku terhanyut dan tidak menikmati kopi dan rokoknya.

Aku lantas ingat Miranda Harlan. Seorang penulis perempuan asal Yogyakarta. Miranda pernah bercerita padaku bahwa ia sedang terlibat proyek penulisan tentang buruh migran. Ia secara khusus mewawancarai salah satu narasumber yang menjadi tokoh utama dalam bukunya. Obrolan ringan itu sekitar akhir tahun 2009 yang kemudian teralisasi penerbitannya pada Juli 2011 dengan judul “Burung – burung Migran”.

Kisah di bbm group, bukan hal yang baru. Tetapi pembedaannya terletak pada tahap mengalami. Jika Kick Andy pernah mendatangkan narasumber TKI dan TKW yang berhasil di beberapa negara seperti Jepang, Arab, Malaysia, Taiwan tidak seberuntung Sutik dalam novel Miranda. Kita semua tahu pemerintah kita tidak pernah serius menangani kasus TKI dan masalah pengangguran. Yang terjadi pemerintah kita menjalankan kebijakan ekonomi dengan mengimpor garam, beras dan mengekspor manusia sebagai komoditi. Tragis.

Burung – Burung Migran mengisahkan Sutik seorang perempuan, ibu lima anak yang memiliki keinginan mencari suami keempatnya di Malaysia. Alasan lainnya ia harus membayar hutang dan biaya sekolah anak – anaknya. Yamin, suami Sutik, meninggalkannya tanpa pesan. Tidak ada yang salah dengan jalur yang Sutik pilih, lewat Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ia mendaftar sebagai calon TKW dengan membayar biaya pendaftaran modal pendaftaran Rp. 150.000. Sutik berangkat dari Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1988.

Dari Kisah Sutik, kenyataan pahit yang dapat Anda ketahui bahwa sejak Sutik dan buruh migran lainnya keluar dari rumah, hak asasi mereka telah direnggut. Bus yang mengantar Sutik ke daerah Sumatera, dinaiki puluhan laki – laki buas dan haus seks ditengah perjalanan. Bisa dikatakan, tidak ada jalan keluar selain meladeni hawa nafsu para lelaki tersebut. Sutik, mengisahkan dirinya diperkosa oleh duapuluh..dua puluh!!! laki – laki dalam sebuah rumah minum di Tanjung Pinang.  Sutik tak sadar, dijual oleh pengurus penampungan TKW sebelum mereka bertolak ke Penang.

Selain kekerasan seksual yang dialami Sutik di negara sendiri, agen TKW juga memalsukan identitasnya termasuk memotong upah bekerjanya selama enam bulan untuk membayar biaya adminitrasi dan keberangkatan Sutik. Ia memang tidak mengalami penyiksaan oleh majikan selama bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Beruntung Sutik bekerja pada majikan keturunan Tionghoa.

Namun bukan berarti kemalangan lain tidak terjadi pada dirinya, ia merelakan dirinya menjadi “ayam” untuk membiayai pengobatan teman sesama TKW dari Indonesia. Tak tanggung – tanggung, sehari melayani puluhan laki – laki untuk mendapatkan 1400 ringgit dalam seminggu. Gila benar. Apalagi  temannya si Sum itu tak tahu berterima kasih. Malang bagi Sum akhirnya, yang tewas dengan payudara rusak. Sum mengalami siksa, menjadi korban kekerasan seksual.  Sutik menjadi tahanan selama setahun lebih karena tertangkap menyimpan ganja. Sutik terjebak oleh ulah temannya. Nasib buruk bagi buruh migran disekitar Sutik, menjalani hukuman mati.

Mungkin baiknya Anda membaca kisah Burung – Burung Migran ini, agar menilai sendiri mengapa sekembalinya ke tanah air Sutik jadi “mami”. Ia membantu perempuan – perempuan menjadi pekerja seks di Tretes. Sutik membantu perempuan – perempuan tersebut untuk mendapatkan kemandirian ekonomi. Dengan tengat waktu dan aturan yang jelas, mereka harus berhenti, membawa penghasilan yang banyak dan kembali kepada suami atau keluarga demi membangun ekonomi rumah tangga mereka. Pahit rasanya.

Bagaimana dengan Yamin? Lalu bagaimana Sutik bisa bertemu dengan kawan – kawan dari ICDHRE Jombang untuk menjalankan program pemberdayaan perempuan? Miranda memang benar “ gagasan – gagasan dalam buku ini akan membantu kita untuk mengingat : betapa pentingnya merasa merdeka sejak dalam jiwa dan pikiran. Setidaknya, untuk menjadi penawar atas defisit rasa kemerdekaan dalam diri orang per orang. Jika pemerintah kita berpikir, bertindak merdeka maka dapat mengubah posisi tawar buruh migran di Indonesia. Paling tidak, untuk tidak lagi menganggap mereka semata – mata sebagai pahlawan devisa”

Rahasia Seorang Illegal Alien

Waktu tak bisa lagi diajak kompromi, lalu kuputuskan mengganti kendaraan setiba di terminal Blok M. Meski telah kuperhitungkan jarak dan rute perjalanan dari rumah, tetap saja Jakarta memerasku. Undangan dari Rumah Baca, Sabtu 3 Desember acara bedah Buku Illegal Alien di Gramedia Pondok Indah. Inilah kesempatanku bertemu dengan Hartono Rakiman pengasuh Rumah Baca. Kegemaran membaca membuatku menjadi salah satu kontributor Rumah Baca. Walaupun kami sudah saling berkomunikasi tetapi kami belum pernah bertemu secara langsung.If you never try, then you never know! Kalimat bijak diucapkan Rakiman Hartono dan Agung Suryawan (dipanggil Surya). Keduanya penulis buku Illegal Alien. Hartono membuka acara bedah buku yang lokasinya tepat di tengah ruang Gramedia. Strategis bagi pengunjung yang mau ikut mendengar. Selain itu Hartono dan Surya mampu menarik perhatian pengunjung Gramedia sehingga baik kami yang datang sebagai undangan maupun pengunjung bisa menyimak tuturan renyah mereka.

Hartono bisa langsung mengenalku dan tersenyum, aku senang karena merasa datang sebagai sahabatnya. Aku duduk diantara beberapa kawan Hartono, serius sekaligus kagum dengan cara mereka membedah buku. Ringan, santai dan yang menarik karena tempatnya penuh dengan buku.

Bagi Surya, Amerika adalah dream Land. Dengan menggunakan topeng atau penutup mata, Surya tampil unik. Sengaja, namanya juga bekas Illegal Alien (imigran gelap) Amerika. Surya mengatakan bahwa Pemerintah Amerika tidak akan menangkap dirinya namun mereka akan mencari cara untuk menutup kemungkinan orang – orang seperti Surya masuk ke Amerika. Negara sebesar Amerika lebih mementingkan perbaikan sistem sehingga memperkecil bahkan mencegah masuknya illegal alien. Ia menambahkan bahwa tujuan buku ini bukan untuk mendorong peluang masuk bagi calon illegal alien namun mengajak kita untuk menjadi seorang survival.
Tentu bukan karena dengan sengaja ia memilih menjadi illegal alien tetapi karena ia tidak ingin menyerah dan kembali ke tanah air. Situasi ekonomi pada tahun 1998 di Indonesia menjadi salah satu keengganannya pulang. Awalnya Surya bekerja di Kapal Pesiar yang baginya sudah tidak lagi menyenangkan. Beruntung baginya menjadi seorang Waiter yang bisa memperoleh ribuan dollar setiap minggu. Tetapi apa artinya ribuan dollar jika waktu tidur menjadi sangat terbatas. Ia bekerja sejak pukul 05.30 hingga 00.30. Bahkan ia pernah tidur dengan sepatu yang masih melekat. Mengaku jarang mandi karena begitu berharganya waktu tidur. Apa enaknya dapat fasilitas makanan kelas satu, tetapi tak bisa menikmatinya juga. “Ini namanya eksploitasi”, ujarnya. Itulah mengapa ia memutuskan resign dan Jump Ship, menyusup ke daratan Amerika.

Fantastis, ia dengan mudah mendapat pekerjaan lewat agen tenaga kerja. Tak perlu susah buat lamaran kerja, ijazah, dan berdasi saat wawancara. Adalan Surya adalah penguasaan Inggris dan Spayolnya yang fasih. Surya bangga sekali ketika bercerita, bagaimana ia bisa memperoleh KTP, surat ijin mengemudi (SIM), personal bank account, dan melanjutkan studinya UNCC. Dan lucunya lagi Suya mengaku – ngaku orang Jepang campuran Alabama yang kebetulan pernah ke Indonesia. Akhirnya dari Illegal menjadi legal.

Nampaknya buku Illegal Alien akan seru jika dibaca karena dalam buku tersebut Surya berhasil membawa beberapa kawan Indonesianya untuk bekerja di Amerika secara legal dan equal. Wow,Surya memang berani dan percaya diri, kesan pribadiku terhadapnya. Mau Coba?

If you never try, then you never know !!Terima kasih Rumah Baca

Arsip